Thursday, April 18, 2024
Google search engine
HomeUncategorizedPrinsip Alkitabiah Versus Penginjilan Ekumenis

Prinsip Alkitabiah Versus Penginjilan Ekumenis

[AkhirZaman.org] Ada beberapa prinsip Alkitab yang bisa digunakan sebagai pedoman untuk menilai filosofi operasional penginjilan ekumenis.

1. Kita tidak boleh bersekutu dengan kaum liberal agar bisa memenangkan mereka kepada Kristus.
“Bersekutu” dengan kaum liberal artinya bekerjasama dengan mereka dalam konteks religius dengan tujuan untuk mencapai hasil-hasil rohani. “Berikan rangkulan kasih anda kepada orang liberal, barangkali mereka akan berubah”. Ini adalah pendekatan yang dipegang banyak orang. Namun itu bukan pendekatan dari Tuhan. Hal yang terutama dan yang terpenting bagi Tuhan adalah tentang kemurnian jemaat (gereja). KekudusanNya dan kekudusan umatNya harus dipertahankan dengan harga apapun. Tuhan lebih mengutamakan kekudusan daripada segala hasil. Tuhan tidak tertarik dengan keberhasilan penginjilan yang akan merusak karakter kekudusan jemaat. “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (I Ptr. 1: 16). Kekudusan adalah berkaitan dengan separasi dari segala sesuatu yang jahat. Liberalisme religius adalah jahat; karena itu, kekudusan adalah termasuk memisahkan diri dari mereka. Setelah menggambarkan kemerosotan rohani dan kerusakan moral pada akhir zaman, terutama dalam menyinggung popularitas agama munafik, Paulus menginstruksikan orang-orang percaya untuk “menjauhi” mereka (II Tim. 3: 5). Filosofi Ekumenis menolak bahwa kita harus “menjauhi” (menolak persekutuan mereka), sebaliknya menawarkan rencana yang “lebih baik” – bergabung di dalam kerja keras religius mereka.

Filosofi Ekumenis mengenai masalah ini telah terbentuk lama sebelumnya (terlihat pada artikel yang ditulis Graham yang berjudul “Fellowship and Separation” [“Persukutuan dan Pemisahan”]). Graham mengatakan, “Tidak ada kesimpulan yang lain bahwa penekanan utama Perjanjian Baru adalah tentang persekutuan, bukan mengenai separasi. Seruan itu bukan mengenai keluar, namun agar bersatu”.[1]

Marilah kita menganalisis pernyataan singkat atas pendekatan Graham terhadap masalah kritikal ini. Memang benar bahwa Perjanjian Baru banyak sekali menyinggung tentang persekutuan. Tetapi persekutuan yang dimaksud adalah persekutuan antara orang-orang percaya lahir baru, bukan persekutuan antara orang-orang percaya dan orang-orang tidak percaya. Banyak pemimpin agama yang bersekutu dengan Graham dapat dikategorikan sebagai orang-orang tidak percaya. Mereka menyangkal banyak doktrin utama Alkitab. Walaupun mereka menyatakan diri sebagai orang Kristen, mereka sebenarnya bukan orang Kristen dalam pengertian alkitabiah… Dan Perjanjian Baru memang juga mengajarkan persekutuan maupun separasi. Total ayat mengenai persekutuan bisa saja lebih banyak jumlahnya (saya tidak menghitungnya), karena surat-surat Perjanjian Baru ditulis untuk dipakai di dalam kumpulan jemaat-jemaat Tuhan, dimana penekanan tersebut dibutuhkan. Namun, pengajaran yang jelas mengenai masalah separasi (pemisahan diri) dari yang jahat juga tidak kurang banyaknya. Tuhan senantiasa memiliki keseimbangan yang tepat di dalam FirmanNya.

2. Kita tidak boleh menghormati nabi-nabi palsu sebagai pemimpin Kristen yang sejati.
Ketika Billy pertama kali mulai mendorong agenda ekumenikalnya dalam pemberitaan di New York pada tahun 1957, ia menulis sepucuk surat yang menolak kebenaran kritik yang ditujukan kepada pemberitaan tersebut yang mengatakan, “Komite pendukung adalah orang-orang saleh yang berusaha menjangkau populasi New York yang besar dengan kesaksian Kristus yang telah bangkit”.[2]Siapakah “orang-orang saleh” yang melayani tersebut? Salah satunya adalah James Sutherland Bonnell, seorang liberal terkemuka. Pengacara James Bennett, yang dengan berani menentang pemberitaan Graham di New York dan kehilangan banyak sahabat karena pendiriannya itu, menulis:

Masalah semakin kacau, ketika seorang sahabat saya, yang menelpon kantor pusat Billy Graham Crusade di New York, diberitahu bahwa mereka tidak menganggap Dr. John Sutherland Bonnell sebagai seorang modernis. Sahabat saya terkejut karena secara pribadi ia tahu bahwa Dr. Bonnell pada tahun 1951 menolak untuk menandatangani pengakuan iman fundamental yang diserahkan kepadanya oleh organisasi Billy Graham yang ada pada saat itu, dan pada tgl. 23 Maret 1954, ia menulis sebuah artikel yang diterbitkan dalam majalah Look, yang dengan sangat jelas mengimplikasikan bahwa ia tidak percaya kepada beberapa doktrin Injil yang mendasar (fundamental), termasuk Kebangkitan Tubuh Yesus.[3]

Bagaimana mungkin orang mengabarkan “kesaksian Kristus yang bangkit” jika mereka sama sekali tidak percaya dengan “Kristus yang telah bangkit”?

Bagaimana Paulus menghadapi nabi-nabi palsu yang menyangkal iman? Ia memperingatkan orang yang “menentang kebenaran” dan menyebutnya “akal mereka bobrok dan iman mereka tidak tahan uji” (II Tim. 3: 8). Paulus tidak pernah mempertimbangkan untuk menempatkan orang-orang demikian ke dalam posisi kepemimpinan dalam pemberitaan Injil. Mereka sendiri perlu diinjili dan tidak seharusnya bertugas menginjili orang lain. Mereka adalah jiwa-jiwa tersesat yang sangat membutuhkan seorang Juruselamat. Nabi Yeremia dalam Perjanjian Lama pun tidak memuji nabi-nabi palsu pada masa itu: “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaanKu hilang dan terserak!” – demikianlah firman Tuhan… Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat…” (Yer. 23: 1-2). Billy Graham tidak menyampaikan pernyataan seperti itu. Karena itulah ia sangat populer di kalangan nabi-nabi palsu masa kini.

3. Kita tidak boleh tidak taat kepada Alkitab karena alasan ingin memenangkan jiwa bagi Kristus.

Banyak penginjilan modern yang kelihatannya didasarkan pada premis bahwa Tuhan membutuhkan semua bantuan yang bisa Ia dapatkan untuk membuat manusia diselamatkan; jadi jika kita harus melakukan sedikit “kecurangan” terhadap prinsip-prinsip alkitabiah, maka jelas kita dibenarkan untuk melakukan hal itu. Tujuan (menyelamatkan jiwa) membenarkan cara (kerjasama dengan orang-orang tidak percaya). Dimanakah prinsip ini diajarkan di dalam Alkitab?

Saya ingat beberapa tahun yang lalu seorang gembala terhormat, William Ashbrook, dan saya diminta untuk menyampaikan pidato dalam pertemuan para gembala mengenai masalah pemberitaan ekumenis. Sahabat saya berdiri untuk menyampaikan sambutannya. Ucapannya adalah sebagai berikut: “Tugas utama seorang Kristen bukanlah untuk memenangkan jiwa”. Terdengarlah desah dan gerutu. Ia menunggu beberapa saat sebelum mengucapkan kalimat keduanya. “Tugas utama seorang Kristen adalah melakukan kehendak Tuhan”.  Memang benar demikian. Tentu saja kita tidak mengatakan, bahwa orang-orang Kristen tidak memenangkan jiwa. Mereka harus melakukannya, namun harus di dalam konteks prinsip-prinsip alkitabiah. Ketika Petrus dan sahabat-sahabatnya telah bekerja keras sepanjang malam dan tidak berhasil menangkap seekor ikanpun, sang Tuan Nelayan mengambil alih. Petrus, yang sama sekali bukan seorang nelayan yang lemah, mengetahui bahwa ada seorang yang lebih besar di dalam perahu, dan berkata, “Guru… karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga” (Luk. 5: 5). Dengan perkataan lain, “Sesuai kehendakMu, aku akan menjala.” Banyak ikan yang tertangkap, dan Kristus memberitahu mereka bahwa pada masa yang akan datang mereka akan “menjala manusia,” dan bukan ikan. Untuk menjala manusia dibutuhkan ketaatan yang besar kepada Firman Kristus seperti juga halnya tugas menjala ikan. Kita harus melakukan penjalaan ikan rohani kita di dalam ketaatan kepada prinsip-prinsip yang diungkapkan Kristus. Hal inilah yang tidak dipahami oleh penginjilan ekumenis.

Saul mendapat pelajaran berharga: Sesuatu yang terbaik tidak bisa diganti dengan sesuatu yang baik – yaitu ketaatan penuh kepada Tuhan. Raja Israel yang pertama itu diperintahkan secara khusus untuk menyerang bangsa Amalek, musuh fasik Tuhan dan umatNya, dan untuk menumpas mereka dan segala yang ada padanya (I Sam. 15: 2-3). Karena mengabaikan perintah itu dan mengambil keputusannya sendiri, Saul menyisihkan sebagian kambing domba dan lembu-lembu Amalek. Ketika nabi Samuel datang kembali, ia menanyakan apakah Saul telah memenuhi perintah Tuhan. Ia mendapatkan bahwa Saul tidak melaksanakannya. Namun Saul telah siap dengan pembelaan atas pembangkangannya. Ia melanggar perintah Tuhan mengenai hewan ternak Amalek untuk mematuhi perintah Tuhan mengenai keharusan korban hewan. Hewan ternak yang ia sisihkan adalah untuk dipakai sebagai korban bagi Tuhan. Mengenai hal itu Samuel mengucapkan pernyataan yang monumental: “Apakah Tuhan itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara Tuhan? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik daripada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik daripada lemak domab-domba jantan. Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim…” (I Sam. 15: 22-23).

Ekumenis membenarkan ketidaktaatan terhadap larangan Tuhan untuk bekerjasama dengan kesesatan dengan dalih untuk memenangkan jiwa bagi Kristus dan hal ini menutupi segala pertimbangan yang lain. Namun alasan ini jelas bertentangan dengan prinsip yang diberikan oleh Samuel. Korban adalah baik, tepat dan alkitabiah jika dilaksanakan sesuai dengan kehendak Tuhan. Tetapi jika dilaksanakan di luar kehendak Tuhan, maka korban tidak akan diterima. Demikian juga halnya dengan penginjilan. Penginjilan diperintahkan di dalam Alkitab, demikian juga ketaatan kepada Tuhan. Kita tidak mungkin menginjil sambil menentang Tuhan.

4. Kita tidak bisa menentang Alkitab dengan dalih bahwa kita sedang menunjukkan kasih Tuhan.

Banyak orang Kristen memiliki pandangan yang menyimpang mengenai kasih Tuhan. Injili baru menyatakan, “Lencana kemuridan Kristen bukan orthodoksi, tetapi kasih”.  Arus Injili Baru menyerukan fakta bahwa kaum separatis fundamentalis itu kasar dan abrasif, sementara mereka penuh dengan kasih.  Kasih, menurut mereka, mengesampingkan kesalahan doktrin dan mengakomodasikan hampir setiap orang yang menyatakan diri sebagai orang Kristen. Kasih tidak mengkritisi maupun mengecam. Kasih mempersatukan.

Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa kasih dan ketaatan berjalan seiring. Perhatikan firman Tuhan berikut ini:
1. “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu” (Yoh. 14: 15).

2. Barangsiapa memegang perintahKu dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku’ (Yoh. 14: 21).

3. “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu …” (Yoh. 14: 23).

Di dalam FirmanNya Tuhan memerintahkan kepada umatNya untuk “jangan turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.” (Ef. 5: 11). Para pengkhotbah liberal merupakan sumber “perbuatan-perbuatan kegelapan”. Bersekutu dengan mereka berarti tidak taat kepada perintah ini; melakukan hal ini, sebenarnya adalah tidak mengasihi.

Perikop ini, ditambah lagi dengan perkataan Kristus yang baru saja dikutip dari Injil Yohanes, dengan jelas menyatakan bahwa jika seseorang mau taat kepada Kristus, maka ia harus menolak kerjasama dengan kesesatan. Namun para pendukung penginjilan ekumenis tidak menerima alasan ini. Meskipun menghadapi teguran alkitabiah, mereka tetap saja ingin menyenangkan para pemimpin gereja yang menyangkal Kristus.

5. Kita tidak perlu menyenangkan semua pihak agar mendapat simpati untuk mendengar Injil.
Salah satu alasan yang dibuat oleh para pembela injili adalah mengenai fakta bahwa ratusan orang gereja liberal mendengar Injil Kristus karena para gembala dan gereja-gereja mereka turut bekejasama di dalam pemberitaan. Ini merupakan masalah pragmatisme agama yang menyolok. Kita gunakan metode apa saja, tanpa menghiraukan prinsip-prinsip alkitabiah. Tentu saja ini bukan metodologi yang digunakan oleh para rasul mula-mula dan para pengikutnya. Paulus, ketika menghadapi para penganut Yudaisme yang mencoba membumbui Injil Kristus agar sesuai dengan selera para pendengar Yahudi, menyatakan, “…adakah kucari kesukaan manusia atau kesukaan Tuhan? Adakah kucoba berkenan kepada manusia? Sekiranya aku masih mau mencoba berkenan kepada manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus” ((Gal. 1: 10). “Orang yang berusaha menyenangkan manusia jelas tidak mungkin melemparkan anathema (kutukan) kepada orang yang memberitakan injil-injil palsu”.[4]Sungguh pengamatan yang tepat! Namun sayang, pemimpin ekumenis  tidak “melemparkan anathema” terhadap para pendukung yang mengajarkan injil sesat yang banyak jumlahnya. Sikapnya untuk tidak melakukan hal ini menyebabkan ia mempunyai banyak sahabat, namun apakah ini memenuhi perintah Tuhan?

6. Kita tidak boleh membiarkan seolah-olah doktrin sesat itu tidak apa-apa.

Gereja Katolik Roma mengajarkan bidat, tetapi ekumenis membiarkan dan membesarkan hati para pemimpinnya. Mereka mengajarkan banyak doktrin yang menentang langsung Firman Tuhan; tetapi pemimpin-pemimpin dan para pengikutnya tetap ditampilkan atau dimasukkan ke dalam pemberitaan dan konferensi. Demikian juga dengan kaum kharismatik yang memaksakan bahwa karunia-karunia tanda masih berlangsung sampai hari ini. Paulus berterus-terang tentang doktrin sesat ketika menulis, “Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan” (I Tim. 4: 1). Murid yang dikasihi, Yohanes, bukan saja hanya memperhatikan manifestasi kasih, tetapi juga tentang menghapuskan kesalahan. Ia tidak membela muslihat doktrin yang naif. “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Tuhan; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (I Yoh. 4: 1). Berkenaan dengan perikop tersebut, ia mengatakan bahwa kita harus bisa membedakan antara “Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan” (I Yoh. 4: 6). Kepekaan rohani itu penting dan harus dilatih. Ada perbedaan yang besar antara kebenaran dan kesesatan dan perbedaan ini tidak bisa dibiarkan atau disembunyikan.

7. Kita harus menyadari bahwa pengajaran (doktrin) yang benar harus diprioritaskan di atas persekutuan, dan bahwa persekutuan yang benar adalah didasarkan kepada pengajaran (doktrin) yang benar.

Doktrin telah mengalami masa yang jahat. Sedikit sekali yang mau mempertahankan apa yang mereka sebut dengan “pagar” doktrin. Sebaliknya mereka bermaksud menekankan persatuan di dalam Kristus dan berkat yang mereka lihat akan tercurah dari sana.

Namun pandangan doktrin Tuhan lebih kuat daripada pendapat dari beberapa kalangan injili. Ketika jemaat lokal pertama didirikan di Yerusalem, karakteristiknya sudah terkenal. Ada empat di antaranya, tetapi yang pertama disebut adalah bertekun (berpegang teguh) dalam “pengajaran rasul-rasul” (Kis. 2: 42). Persekutuan, memecahkan roti dan berdoa mengikuti setelah penyebutan doktrin. Patut diperhatikan bahwa doktrin menempati urutan pertama. Bagi banyak injili masa kini, hal ini tidak merupakan keutamaan yang tertinggi. Tidak lama kemudian di dalam sejarah kerasulan, Paulus menekankan “hal-hal yang telah menjadi ajaran yang sehat (doktrin yang benar)”, agar dijarkan kepada jemaat (Titus 2: 1). Paulus kerapkali merujuk kepada “ajaran yang sehat”, yaitu doktrin yang sehat dan tidak terkontaminasi oleh kesesatan. Ia sangat ingin agar doktrin demikian dihidupkan terus-menerus di dalam jemaat-jemaat.

Penginjilan ekumenis tidak selaras dengan program dan prinsip Tuhan. Ia merupakan sebuah usaha untuk menyatukan sesuatu yang tidak bisa dipersatukan. “Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?” (Amos 3: 3). “… Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” (II. Kor. 6: 14). Tuhan telah memisahkan terang dari kegelapan dan tak seorangpun, meskipun dengan alasan penginjilan, yang boleh meruntuhkan tembok-tembok yang dibangun oleh Tuhan.

Referensi
[1]Billy Graham, “Fellowship and Separation”, Decision, Agustus 1961, hal. 14.

[2]Surat Billy Graham, diterbitkan dalam Herald of His Coming, 23 Nopember 1956, hal. 8.

[3]James Bennett, “Supplementary Statement of James Bennett”, 1954.

[4]Donald K. Campbell, “Galatians”, Bible Knowledge Commentary, 2: 591.
Di sadur seperluhnya dari buku: the Tragedy of Compromise: The Origin and Impact of the New Evangelicalism, bab 3: Melebarkan Jalan Setapak.
By: Ernest D. Pickering

Previous article
Next article
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments

Anda rindu Didoakan dan Bertanya?